Dibantai Tapi Masih Bangga? Realita Keras Sepak Bola Asia
Dipublikasikan pada 10 Juni 2025 oleh Redaksi Opini Logistik RR
Indonesia baru saja menelan kekalahan memalukan dari Jepang dengan skor 0-6. Tapi yang menarik bukan hanya hasil pertandingannya, melainkan reaksi banyak pihak setelahnya—yang justru terkesan bangga dan menerima kekalahan tersebut sebagai “proses”. Pertanyaannya: sampai kapan kita nyaman dengan mentalitas puas meski kalah?
Kekalahan Jadi Rutinitas yang Dimaklumi
Kekalahan dari Jepang jelas bukan yang pertama. Sudah berkali-kali tim nasional kita—baik senior maupun usia muda—harus menerima kenyataan pahit saat bertemu negara-negara besar di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, atau Iran.
Namun yang mengejutkan adalah reaksi pasca pertandingan:
- “Yang penting sudah berjuang.”
- “Kalah terhormat.”
- “Melawan Jepang saja sudah luar biasa.”
Pujian semacam itu seolah jadi pelarian. Alih-alih melihat kekalahan sebagai tanda bahwa kita masih jauh tertinggal, justru dijadikan pembenaran bahwa "yang penting ikut kompetisi."
Jepang: Cermin Disiplin dan Visi Jangka Panjang
Jepang bukan hanya unggul dalam teknik dan strategi, tapi juga dalam mental bertanding dan konsistensi program jangka panjang. Mereka tidak puas hanya dengan tampil baik di Asia. Target mereka jelas: bersaing di level dunia.
Mereka tidak menganggap menang melawan Indonesia sebagai pencapaian besar. Bagi mereka, itu kewajiban. Standar mereka sudah sangat tinggi.
Mentalitas “Puas Meski Kalah” Itu Berbahaya
Memuji tim karena “sudah berjuang” dalam kekalahan itu baik, tapi jika terus-menerus dilakukan, akan melahirkan zona nyaman. Kita jadi terbiasa dengan kekalahan. Bahkan seolah-olah takut untuk menuntut lebih dari federasi, pelatih, maupun pemain.
Bangga karena tidak dibantai? Bangga karena bisa cetak satu gol saat kalah 1-5? Itu bukan progres, itu ilusi.
Harus Ada Standar Baru
Sepak bola Indonesia dan Asia Tenggara secara umum perlu membentuk budaya kompetitif yang sehat, di mana kekalahan bukan sesuatu yang dimaklumi terus-menerus. Evaluasi harus jadi budaya, bukan cuma euforia singkat saat menang dan pelipur lara saat kalah.
Kita butuh:
- Pengelolaan kompetisi yang sehat.
- Pembinaan usia dini yang terstruktur.
- Standar fisik dan mental seperti Eropa atau Asia Timur.
Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran kekalahan yang dibalut dengan kata-kata “yang penting sudah berjuang”.
Penutup
Tidak salah mencintai timnas dan mendukung mereka sepenuh hati. Tapi cinta yang sehat adalah cinta yang juga berani mengkritik. Jika ingin sepak bola kita naik kelas, maka sudah waktunya mengubur mentalitas puas meski kalah. Kita tidak butuh pembenaran, kita butuh perubahan.